Senin, 29 Februari 2016

PEMETAAN DAERAH RAWAN PANGAN KECAMATAN WERU KABUPATEN SUKOHARJO

INDIKATOR DAN PEMETAAN DAERAH RAWAN PANGAN
DALAM MENDETEKSI KERAWANAN PANGAN
DI  KECAMATAN WERU KABUPATEN SUKOHARJO


 
LAPORAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ekologi Pangan dan Gizi

Disusun Oleh:
1.      Ambar Kusumaningrum           (1351700050)
2.      Amelia Nur Widya Vista          (1351700038)
3.      Bibit Wahyudi                          (1351700056)
4.      Diah Indriyani                          (1351700054)
5.      Herlina                                      (1351700021)
6.      Mahmud Tegar Safroni             (1351700089)
7.      Sinta Tri Kurniawati                 (1351700025)
8.      Sri Murningsih                          (1351700012)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA
SUKOHARJO
2015



PENGESAHAN

            Telah disahkan oleh Dosen pengampu mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.

           
            Pada Hari                    :
            Tanggal                       :


Menyetujui,
Dosen Pengampu


Rusjiyanto S.K.M, M.Si










KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya yang telah melindungi, memberi kekuatan serta membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini.
            Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, makalah ini tidak mungkin terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Rusjiyanto S.K.M, M.Siselaku dosen pengampu mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi yang telah memberi materi selama ini.
2.      Pemerintah Kabupaten Sukoharjo khususnya Dinas ketahanan pangan Kabupaten Sukoharjo dan Pemerintah Kecamatanweru yang telahmemberikan data dankerjasama yang baikdemi terselesainyatugasini.
3.      Seluruh anggota kelompok yang telah mendukung sehingga dapat menyelesaikan laporan ini.
4.      Semua pihak yang turut membantu terselesainya laporan ini.

Penulis tidak luput dari kesalahan, untuk itu penulis selalu membuka kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan  ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.



Sukoharjo, April 2015


                                       Penulis

Abstrak

            Tujuan dari penelitian ini menentukan tingkat produksi, ketersediaan pangan bagi masyarakat dan menganalisis tingkat aksesibilitas pangan bagi rumah tangga di desa-desa di kabupaten tertinggal Weru Sukoharjo.
            Metode penelitian yang digunakan yaitu metode analisis yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalahwawancaradananalisis deskriptifuntuk mendekati situasi, struktur, perilaku, dan kinerja (SSPP) serta metode penelitian kuantitatif.
            Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010jumlah panen padi di Kecamatan Weru mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2009 padahal luas tanah yang ditanami padi semakin luas. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ketersediaan pangan, ketahanan pangan di daerah penelitian masih sangat rendah. Faktor yang mempengaruhi penurunan hasil panen diantaranya akses yang sulit untuk dijangkau karena jalan yang rusak, tingginya curah hujan di tahun 2010.
            Setelah dilakukan analisa dengan data-data yang di peroleh di Kecamatan Weru ternyata masih banyak daerah yang dikategorikan sebagai daerah Rawan Pangan berdasarkan indikator indikator yang ada. Daerah Karangmojo merupakan daerah yang termasuk kategori rawan karena daerah tersebut hampir masuk ke dalam seluruh indikator yang ada.








DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………...................ii
KATA PENGANTAR ………………………………....................................iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………….............iv
DAFTAR TABEL...............................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang ........................................................................................1
B.     Rumusan Masalah  .................................................................................2
C.     Tujuan Penelitian.... ................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.    Konsep Ketahanan Pangan
B.     Ketersediaan Pangan
C.     Keterjangkauan Pangan
D.    Manajemen Cadangan Pangan
BAB III METODE PENELITIAN
A.    Waktu dan Tempat Penelitian
B.     Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
C.     Metode Analisis
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A.    Profil Kecamatan Weru..................................................................
B.     Penduduk di Kecamatan Weru
C.     Tingkat Produksi dan Kesediaan Pangan di Kecamatan Weru.
D.    Analisis Ketersediaan Pangan dengan Indikator Konsumsi Normatif Perkapita Terhadap Rasio ketersediaan Beras di  Kecamatan Weru.
E.     Indikator Angka Kelahiran Dan Angka Kematian Penduduk di Kecamatan Weru.
F.      Indikator  Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Weru.
G.    Karasteristik Wilayah Pengeloaan Daerah Rawan Pangan di Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.
BAB V PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
LAMPIRAN...........................................................................................8















DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indikator indikator yang digunakan dalam pemetaan daerah rawan pangan.
Tabel 2. Luas, jumlahpenduduk, kepadatanpendudukdirincimenurutdesa tahun 2010
Tabel 3. LuasPanendanProduksiPadiSawahdanPadiLadangMenurutDesaTahun 2010.
Tabel 4. Analisakonsumsinormatif di KecamatanWeru .
Tabel 5. AnalisisPerbandinganAntaraJumlahRumahtanggaseluruhnyadengan
Tabel 6. JumlahRumahTanggaMiskinPenerimaBerasRaskin di KecamatanWeru.
Tabel 7. Karasteristik Wilayah Pengeloaan Daerah Rawan Pangan di
Tabel 8. Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.

BAB I
                                    PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Krisis pangan telah benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia. Hal ini ditandai dengan melonjaknya harga-harga pangan dunia seperti makanan pokok berupa gandum, kedelai, beras, dan jagung. Penurunan pasokan berdampak pada harga pangan di pasar dunia semakin melambung, sehingga mengakibatkan masyarakat miskin harus membayar lebih mahal dibandingkan orang kaya di negara maju.
Departemen Pertanian (1999) telah menetapkan isu ketahanan pangan sebagai salah satu fokus utama kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian dalam Kabinet Gotong Royong (1999-2004), dan komitmen ini dilanjutkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009).Memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa.
Selain itu, ketahanan pangan dalam arti keterjangkauan pangan juga berkaitan erat dengan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup dan bermutu, tidak mungkin dihasilkan sumberdaya manusia yang bermutu, oleh karena itu membangun sistem ketahanan pangan yang kokoh merupakan syarat mutlak bagi pembangunan nasional. Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa (Ariani et al., 2006).
 Kejadian rawan pangan di tingkat rumah tangga dengan proporsi cukup besar masih ditemukan di daerah-daerah dengan ketahanan pangan tingkat regional (provinsi) maupun tingkat nasional terjamin (Saliem et al., 2001). Oleh karena itu pencapaian tingkat ketahanan pangan yang mantap di tingkat nasional maupun regional saja tidak cukup.
Mantapnya ketahanan pangan tingkat desa dan tingkat rumah tangga serta individu merupakan sasaran pembangunan ketahanan pangan suatu negara. Pemerintah telah mengeluarkan PP No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Intinya ketahanan pangan sangat penting untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berbekal PP tersebut semestinya, ketahanan pangan menjadi agenda penting bagi pemerintah bersama masyarakat untuk dilaksanakan. Apalagi banyak komoditi penting yang sampai saat ini masih harus impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Oleh karena itu, membangun kewaspadaan dan atau ketahanan pangan dari strata pemerintahan yang paling rendah yaitu desa (kelurahan) secara bertahap dan konsisten menjadi suatu keniscayaan untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan di tingkat desa dan atau rumah tangga. Ketahanan pangan merupakan salah satu isu sensitif bagi keamanan suatu bangsa. Secara umum, ketahanan pangan yang rapuh akan memicu terjadinya konflik.
Jacques Diouf (2008) selaku Direktur Jenderal Badan Pangan Dunia (FAO), mengatakan bahwa kelangkaan pangan yang disusul melambungnya harga telah memicu kerusuhan, antara lain di Mesir, Kamerun, Haiti, dan Burkina Faso. Ketersediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), pedesaan, serta rumah tangga individu. Hal ini ditunjukkan antara lain dari studi yang dilakukan oleh Saliem et al. (2004). Terkait dengan fakta tersebut maka masalah bagaimana mengelola ketersediaan pangan yang cukup tersebut agar dapat diakses oleh rumah tangga individu di masing-masing wilayah desa merupakan isu menarik untuk ditelaah.
Pengelolaan pangan terkait dengan masalah bagaimana mengelola cadangan pangan, dalam hal ini manajemen cadangan pangan merupakan salah satu aspek yang belum banyak dikaji secara baik. Ketahanan pangan juga merupakan isu sentral yang menjadi domain utama pemerintah kabupaten Sukoharjo, meskipun sudah diketahui publik bahwa Sukoharjo merupakan salah satu lumbung beras nasional atau berhasil sebagai daerah swasembada beras. Hal ini dibuktikan dengan jumlah produksi beras Sukoharjo yang cukup signifikan, yaitu pada posisi April 2006 mencapai 29.352 ton GKG dengan luas lahan panen 4.651 ha. (Pemda Sukoharjo, 2008).
Namun bukan berarti kabupaten Sukoharjo telah terbebas dari persoalan rawan pangan dan atau ketahanan pangan. Persoalan ketahanan pangan bagi pemerintah daerah tentunya bukan sekedar terpenuhinya aspek ketersediaan pangan bagi masyarakat (rumah tangga) artinya pemerintah telah mampu menyediakan pangan bagi seluruh anggota masyarakatnya (Nainggolan, 2006), tetapi juga yang jauh lebih penting adalah aspek aksesibilitas (keterjangkauan) masyarakat (rumah tangga) terhadap bahan pangan. Daya beli rumah tangga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keterjangkauan pangan. Sementara, daya beli masyarakat sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan harga komoditas pangan.
Dari data dinas ketahanan pangan menunjukan bahwa kecamatan weru terutama desa Karangmojo memiliki angka persentase tertinggi no. 6 di kabupaten sukoharjo yang termasuk daerah rawan pangan yaitu sebesar 41,6%.
 Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga (Imron Rosyadi dan Didit Purnomo) 305 Pertanyaan krusialnya adalah seberapa besar keterjangkauan rumah tangga-rumah tangga (masyarakat) terhadap bahan pangan, khususnya beras di kabupaten Sukoharjo.  Total penduduk Sukoharjo pada tahun 2005 sebesar 817.108 jiwa atau 202.930 KK (PNPM, 2008), yang tersebar pada 12 kecamatan, 152 desa dan 17 kelurahan (Pemkab Sukoharjo, 2008).
Dari 202.930 KK tersebut terdapat 90.701 KK yang termasuk dalam kategori KK Miskin dengan rincian per-kecamatan yaitu: 10.089 KK di kecamatan Weru; 11.002 KK di kecamatan Polokarto; 6.616 KK di kecamatan Gatak; 7.567 KK di kecamatan; 9.425 KK di kecamatan Tawangsasri; 9.574 KK di kecamatan Sukoharjo; 5.841 KK di kecamatan Nguter; 7.796 KK di kecamatan Bendosari; 8.307 KK di kecamatan Mojolaban; 5.502 di kecamatan Baki; 3.671 KK di kecamatan Grogol dan 5.311 KK di kecamatan Kartasura. Sementara dari 152 desa di kabupaten Sukoharjo terdapat 26 desa tertinggal (PNPM, 2008).
B.  Rumusan masalah
 Di daerah penelitian yaitu di kecamatan Weru terdapat desa yang termasuk dalam kategori desa rawan pangan serta terdapat 10.089 KK yang termasuk dalam kategori KK miskin. Data-data tersebut secara eksplisit menunjukkan adanya paradoksal bahwa predikat yang disandang kabupaten Sukoharjo sebagai salah satu daerah lumbung pangan nasional dan merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berhasil swasembada beras, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa aksesibilitas (keterjangkauan) pangan dan atau ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan masih sangat rendah. Sehingga dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Mengidentifikasi seberapa besar tingkat produksi dan ketersediaan pangan bagi rumah  tangga di desa-desa tertinggal di kecamatan Weru.
b.      Menganalisis masalah dan mengidentifikasi daerah yang dikategorikan daerah rawan pangan kususnya di Kecamatan Weru, yang dihitung berdasarkan data-data yang di peroleh dari hasi penelitian.
c.       Menganalisis masalah yang dihadapi oleh warga serta mengidentifikasi besar tingkat aksesibilitas (keterjangkauan) pangan bagi rumah tangga di desa-desa di kecamatan Weru.

C.  Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk manganalisis tingkat keterjangkauan pangan dan atau ketahanan pangan rumah tangga di desa tertinggal dalam rangka merumuskan model peran pemerintah desa melalui “lembaga lumbung pangan (LLP)” desa dalam pengelolaan stok (cadangan) pangan di desa-desa tertinggal. Secara rinci tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
a.       Untuk mengidentifikasi tingkat produksi, ketersediaan pangan bagi masyarakat di desa-desa di Kecamatan Weru .
b.      Mengidentifikasi daerah rawan pangan yang berada di Kecamatan Weru.
c.       Mengetahui dan mengidentifikasi tingkat aksesibilitas (keterjangkauan) pangan bagi rumah tangga di desa-desa yang dikategorikan rawan pangan.
d.      Menentukan variabel-variabel yang menjadi  indikator yang dapat menimbulkan masalah ketahanan pangan.





BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.       Konsep Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan yang disepakati secara internasional dalam World Conference on Human Right 1993 dan World Food Summit 1996, seperti dilaporkan oleh Saliem et al. (2005); adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu baik dalam jumlah maupun mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai dengan budaya setempat. UndangUndang No.7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Rusastra et al. (2005) menyebutkan bahwa ketahanan pangan ditentukan secara bersama antara ketersediaan pangan dan akses individu atau rumah tangga untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan. Purwaningsih (2008) dan Ariani (2006) melaporkan hasil penelitianya bahwa di Indonesia, peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program utama nasional sejak satu dasawarsa terakhir. Hal ini juga terkait dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu penandatangan kesepakatan dalam MDGs yang menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara diharapkan dapat menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990.
Pada tahun 2004 muncul kembali kasus gizi buruk di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi lainnya. Faktor penyebab kerawanan pangan di suatu wilayah dan rumah tangga mempunyai sifat multidimensional, ditentukan oleh berbagai faktor dan melibatkan berbagai sektor.
B.       Ketersediaan Pangan
 Ketersediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), tingkat desa dan rumah tangga individu. Hal ini ditunjukkan antara lain dari studi yang dilakukan oleh Nurmanaf et al (2006). Terkait dengan fakta tersebut maka masalah bagaimana mengelola ketersediaan pangan yang cukup tersebut agar dapat diakses oleh rumah tangga individu di masing-masing wilayah merupakan isu menarik untuk ditelaah. Pengelolaan pangan terkait dengan masalah bagaimana mengelola cadangan pangan, dalam hal ini manajemen cadangan pangan merupakan salah satu aspek yang belum banyak dikaji secara baik (Saliem et al., 2005).
Ketersediaan pangan tingkat nasional dan regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini karena di samping ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumah tangga individu sangat ditentukan pula oleh akses untuk mendapat pangan tersebut. Dalam hal ini tingkat pendapatan dan daya beli merupakan faktor penentu akses rumah tangga terhadap pangan. Selain itu, di tingkat pengambil kebijakan, kejadian rawan pangan antara lain terkait dengan masalah kebijakan stabilitas harga pangan dan manajemen cadangan stok pangan (Irawan et al., 2006).
Lokollo et al., (2007) menunjukkan bahwa adanya gejolak harga pangan (beras) berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan menghambat rumah tangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Di tingkat produsen (petani), gejolak harga dan turunnya harga gabah pada saat panen raya berdampak menurunkan pendapatan petani yang dapat diartikan pula menurunkan daya beli petani. Dengan demikian ketidakstabilan harga beras berdampak pula terhadap daya beli dan akses terhadap pangan pada petani (khususnya yang berstatus net-consumer).

C.       Keterjangkauan Pangan
Keterjangkauan pangan atau aksesibilitas masyarakat (rumah tangga) terhadap bahan pangan sangat ditentukan oleh daya beli, dan daya beli ini ditentukan oleh besamya pendapatan dan harga komoditas pangan. Pengaruh pendapatan terhadap akses pangan dapat dilihat melalui pengeluaran bahan pangan, yaitu dengan besamya proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan. Selanjutnya harga pangan berpengaruh terhadap aksesibilitas terhadap bahan pangan melalui daya beli.
1.      Pengeluaran Bahan Pangan.
Terdapat hubungan yang negatif antara proporsi pengeluaran bahan pangan dan ketahanan pangan (ditinjau dari akses ke pangan) (Hukum Working 1943, dikutip oleh Pakpahan, dkk., 1993 dalam Rachman, dkk., 2002):
a.       Semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan, maka akses terhadap bahan pangan adalah rendah. Semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan juga menunjukkan rendahnya kepemilikan bentuk kekayaan lain yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan;
b.      Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan, maka akses terhadap bahan pangan adalah besar, atau menunjukkan semakin tinggi ketahanan pangannya.
c.       Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan, juga menunjukkan tingginya kepemilikan bentuk kekayaan lain yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan;

1.      Harga Komoditas Pangan.
Harga pangan menentukan daya beli masyarakat terhadap pangan, dan terdapat hubungan negatif Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga (Imron Rosyadi dan Didit Purnomo) 307 antara keduanya. Harga yang meningkat (pada pendapatan tetap), maka daya beli menurun, dan sebaliknya apabila harga turun. Dengan demikian stabilitas harga pangan sangat penting untuk menjamin bahwa masyarakat dapat menjangkau kebutuhan pangannya.

D.       Manajemen Cadangan Pangan.
 Saliem et al. (2005) tentang kebijakan pengelolaan cadangan pangan dapat dipaparkan sebagai berikut:
1)      Salah satu kekuatan dalam pengembangan cadangan pangan masyarakat adalah tradisi masyarakat petani secara perorangan untuk menyisihkan hasil panennya guna cadangan pangan masih relatif tinggi. Kekuatan lainnya adalah bahwa produksi padi per satuan luas relatif tinggi sehingga memungkinkan masyarakat petani secara perorangan mengalokasikan hasil panennya baik untuk dijual langsung guna mendapatkan uang tunai maupun untuk disimpan sebagai cadangan pangan;
2)      Kelemahan pertama dalam pengembangan cadangan masyarakat adalah bahwa pengembangan cadangan pangan oleh rumah tangga petani secara perorangan membutuhkan ruang khusus dengan ukuran tertentu yang dapat digunakan untuk menyimpan gabah hingga menjelang panen berikutnya yang sulit untuk dipenuhi oleh setiap rumah tangga petani. Kelemahan kedua adalah bahwa tradisi masyarakat petani untuk melakukan cadangan pangan secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan cenderung melemah;
3)       Salah satu faktor yang dapat dipandang sebagai peluang atau kesempatan dalam pengembangan cadangan pangan masyarakat adalah bahwa secara empiris masalah pangan bisa terjadi kapan saja baik disebabkan oleh bencana alam (natural disaster) maupun bencana buatan manusia (konflik sosial) (man made disaster). Faktor lainnya yang dapat dianggap sebagai peluang atau kesempatan adalah bahwa pemerintah berkewajiban mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan sebagaimana diktum PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan;
4)      Salah satu tantangan atau ancaman dalam pengembangan cadangan masyarakat berupa terciptanya kondisi ekonomi di mana pangan pokok tersedia secara cukup baik jumlah maupun mutunya serta terjangkau daya beli masyarakat seperti terjadi pada paruh kedua jaman Orde Baru. Tantangan atau ancaman lainnya berupa semakin luasnya adopsi kelembagaan sistem panen secara tebasan dengan konsekuensi petani penggarap tidak lagi membawa pulang gabah tetapi uang tunai.
5)      Dalam konteks pengembangan cadangan pangan masyarakat, strategi yang dipilih untuk mewujudkan tersebarnya cadangan pangan di semua komponen masyarakat serta teratasinya masalah pangan secara cepat adalah sebagai berikut.
ü  Pertama, melakukan sosialisasi bahwa mengandalkan sepenuhnya pemenuhan kebutuhan pangan pokok lewat pasar bebas adalah riskan karena masalah pangan bisa terjadi kapan saja.
ü  Kedua, melakukan sosialisasi bahwa petani produsen juga bertanggungjawab untuk menyelenggarakan cadangan pangan masyarakat.
ü  Ketiga, menumbuh kembangkan dan sekaligus memelihara tradisi melakukan cadangan pangan di tingkat rumah tangga secara sendiri-sendiri.
ü  Keempat, menumbuhkan motivasi petani produsen agar membiasakan diri untuk melakukan cadangan pangan secara kolektif dengan membangun lumbung pangan.
ü  Kelima, mengelola lumbung pangan dengan orientasi usaha sebagai kegiatan ekonomi bukan lagi sebagai kegiatan sosial, sehingga lembaga ini secara bertahap dapat berperan sebagai salah satu sarana kegiatan ekonomi masyarakat di pedesaan dan tumbuh kembali tradisi masyarakat petani melakukan cadangan pangan secara kolektif.

Dalam konteks pengembangan cadangan pangan pemerintah, strategi yang dipilih untuk mewujudkan tersebarnya cadangan pangan di semua lini pemerintahan serta teratasinya masalah pangan secara cepat adalah sebagai berikut.
·         Pertama, melakukan sosialisasi tentang pentingnya tersedianya cadangan pangan di berbagai tingkat pemerintahan maupun di berbagai elemen masyarakat dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan masalah pangan.
·         Kedua, mempertahankan sistem pencadangan pangan beras yang bersifat sentralistik sebagaimana telah dijalankan selama ini oleh pemerintah pusat. Pertim- 308 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 2, Desember 2012: 229-315 bangan pertama, dalam implementasinya sistem ini tidak membutuhkan banyak koordinasi sehingga untuk mengatasi masalah pangan yang umumnya harus dilaksanakan dengan segera adalah sangat sesuai. Pertimbangan kedua, penerapan sistem bertingkat dua (two-tier system) selama periode tahun 1952-1958 di mana di tingkat pusat dibentuk Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) dan di tingkat daerah dibentuk Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) ternyata dalam prakteknya kedua lembaga ini tidak sinkron.
·         Ketiga, melakukan pembagian peran dalam pencadangan pangan antara pemerintah pusat dan pemda berdasarkan pada jenis bahan pangan pokoknya.
·         Keempat, menggunakan pendekatan desentralistik (bukan terpusat) dalam mekanisme penyaluran stok beras untuk keadaan darurat dengan pertimbangan untuk memperpendek jalur birokrasi sehingga penanggulangan masalah pangan dapat dilakukan dengan lebih cepat.
·         Kelima, melakukan pembagian peran dalam pencadangan pangan beras antara pemerintah pusat dan pemda ditinjau dari jenis stok berasnya. Peranan Inovasi Teknologi Padi.


























BAB III
METODE PENELITIAN

A.  Waktu dan Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Weru , Kabupaten Sukoharjo , yang dilakukan selama 2 hari pada tanggal 6-7 April 2015.
B.  Jenis dan Teknik Pengumpulan Data.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan mengutip laporan maupun dokumen dari instansi pemerintah atau lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara,pencatatan, dokumentasi dan recall. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo dan Pemerintah Kecamatan Weru, profil Kecamatan Weru dan dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini serta data primer yang dikumpulkan di lokasi penelitian dengan metode purposive sampling yaitu:
1.             Mengumpulkan data dari berbagai sumber terpercaya dan kemudian untuk dianalisa dan di jabarkan bentuk permasalahan.
2.             Informasi kualitatif yang diperoleh dari informan kunci dari badan aparatur terkait tingkat kabupaten dan kecamatan  lokasi penelitian di daerah penelitian.
3.             Menghitung seberapa banyak desa yang di kategori sebagai desa rawan pangan di Kecamatan Weru dengan rumus sebagai berikut :

Persentase  =  x 100 %



C.  Metode Analisis.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualitatif (analitis) dalam kerangka pendekatan situasi, struktur, perilaku dan performa (SSPP) dan Metode Kuantitatif . Penggunaan pendekatan ini dasarkan atas pertimbangan performa seperti, belum terwujudnya manajemen cadangan pangan di daerah penelitian,masih banyaknya jumlah rumah tangga miskin di daerah penelitian, serta adanya dugaan bahwa rawan (rentan) pangan banyak terjadi di desa-desa yang mempunyai jumlah Rumah Tangga Miskin yang banyak.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, dapat definisikan sebagai berikut:
1.    Tingkat produksi dan ketersediaan pangan adalah jumlah rata-rata produksi  padi per-tahun per-ha di setiap desa di Kecamatan Weru.
2.    Rumah Tangga Miskin merupakan Rumah tangga di setiap daerah di kecamatan weru yang dikategorikan sebagai rumah tangga kurang mampu oleh pemerintah setempat .
Indikator indikator yang digunakan dalam pemetaan daerah rawan pangan yaitu sebagai berikut :

Tabel 1
Indikator indikator yang digunakan dalam pemetaan daerah rawan pangan
Dimensi Kelompok Indikator
Indikator
Pemenuhan
A.    Ketersediaan pangan
1)      Konsumsi normatif perkapita rasio ketersediaan beras.
2)      Luas sawah dan hasil panen
o   Data terpenuhi.


o   Data terpenuhi
B.     Akses Pangan dan Mata Pencaharian
3)      % penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
4)      Akses jalan sepanjang kecamatan Weru.
5)      % Desa yang tidak mempunyai akses listrik.
6)      % keluarga sejahtera.
7)      Jumlah sarana perekonomian
o   Data terpenuhi


o   Data terlampir

.
o   Data tidak terpenuhi.

o   Data terlampir.

o   Data terlampir


C.     Kesehatan dan Gizi.
8)      Angka harapan Hidup pada saat lahir.
9)      Berat badan balita dibawah standar.
10)  Angka penduduk cacat.
11)  Angka kematian penduduk.
12)  % penduduk tanpa akses ke air bersih.
13)  % penduduk yang tinggal > 5KM dari Kecamatan.
o   Data tidak terpenuhi.

o   Data tidak terpenuhi.

o   Data terlampir.
o   Data terpenuhi.

o   Data tidak terpenuhi.

o   Data Terlampir.
D.    Kerawanan pangan
14)  % Daerah berhutan .
15)  % Daerah puso
16)  % Daerah Rawan Banjir.
17)  % Perbandingan Curah hujan.
o   Data tidak terpenuhi
o   Data tidak terpenuhi

o   Data terpenuhi.
















BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A.  Profil Kecamatan Weru
Kecamatan Weru terletak di KabupatenSukoharjo, Jawa Tengah. Kecamatan Weru terletak di daerah dengan ketinggian 118 m di atas permukaan laut,dengan luas wilayah 41,98 Km2 . Jarak dari barat ketimur + 8,0 Km. Jarak dari utara keselatan + 15,0 Km, Jarak dari ibu kota kecamatan ke ibukota Kabupaten Sukoharjo + 20,0 Km.
Batas kecamatan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, sebelah  timur berbatasan dengan Kecamatan Manyaran, KabupatenWonogiri, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Semin, DIY, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klaten. Kecamatan Weru memiliki iklim dengan rata-rata curah hujan dalam 1 tahun sekitar 220 mm.
Luas wilayah Kecamatan Weru pada tahun 2010 tercatat 4.198 Ha atau sekitar 8,99 % dari luas Kabupaten Sukoharjo (46.666 Ha). Desa ngreco merupakan desa yang terluas wilayahnya yaitu 479 Ha (11,34%) sedangkan yang terkecil luasnya adalah desa Grogol yaitu sebesar 213 Ha (5.07%).
Luas yang ada terdiri dari 1.989 Ha atau sekitar 47,38% lahan sawah dan yang bukan lahan sawah sekitar 2.209 Ha  atau sekitar 52,62 %. Luas lahan bukan sawah yang digunakan untuk pekarangan sebesar 67,74 % dari total luas lahan bukan sawah. Sebagian besar tanah sawah di KecamatanWeru berpengairan
Kecamatan Weru terbagi dalam 13 Desa, wilayah tersebut terdiri dari 48 dusun, 137 RW dan 397 RT. Data pada tahun 2010 menunjukan Jumlah Penduduk di Kecamatan Weru tercatat 66.893 jiwa yang terdiri dari 32.909 penduduk laki-laki (49,19 %) dan 33.984 penduduk perempuan (50,81 %). Dilihat dari angka kelahiran kasar (CBR)-nya, dari tiap 1000 penduduk terjadi kelahiran sebanyak 7 orang, sementara angka kematian kasarnya 4 orang per 1000  penduduk.
Di kecamatan weru terdapat 4.641 rumah tangga miskin yang tersebar di 13 kelurahan. Terdapat 3 kelurahan yang masih dikategorikan desa rawan pangan dengan penerima jumlah raskin yang masih banyak yaitu desa Ngreco, Tegalsari dan Karangmojo.

B.  Penduduk di Kecamatan Weru
Pertumbuhan dan kepadatan penduduk mengalami peningkatan dalam satu tahun, berdasarkan data dari profil desa jumlah penduduk pada tahun 2009 adalah 66.833 jiwa sedangkan pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 0.1 % yaitu 66.893 jiwa. Berikut data penduduk di Kecamatan Weru yang di ambil dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010.

Tabel 2
Luas, jumlah penduduk, kepadatan penduduk
dirinci menurut desa tahun 2010.
No
Desa
Luas wilayah (km2 )
Jumlah
penduduk
Kepadatan tiap
(jiwa/ Km2 )
1
Grogol
2,13
3.747
1.759
2
Karangtengah
2,62
4.372
1.669
3
Karangwuni
2,28
3.802
1.669
4
Krajan
3,35
5.625
1679
5
Jatingarang
3,22
6.194
1.924
6
Karanganyar
3,07
5.631
1.834
7
Alasombo
4,59
4.760
1.037
8
Karangmojo
3,72
5.439
1.462
9
Weru
2,94
4.703
1.600
10
Karakan
2,80
4.209
1.503
11
Tegalsari
3,35
5.209
1.555
12
Tawang
3,15
5.459
1.733
13
Ngreco
4,76
7.739
1.626
JUMLAH
41,98
66.893
1.593
2009
41,98
66.833
1.592
   SUMBER DATA: BPS Kabupaten Sukoharjo


C.    Tingkat Produksi dan Kesediaan Pangan di Kecamatan Weru.
 Sebagian besar tanah sawah di KecamatanWeru berpengairan iris (Irigasi teknis, irigasi1 / teknis dan irigasi sederhana) yaitu seluas 513 Ha ( 81,10 %) dan tadah hujan 376nHa (18,90%). Pada tahun 2010 untuk luas panen dan produksi tananaman padi sawah yaitu 4.542 Ha dan 27.279 ton. Palawija diantaranya jagung sebesar 481 Ha dan 3.708 ton, kacang tanah sebesar 235 Ha dan 410 Ton, sedangkan untuk kedelai 1.679 Ha dan 4.106 ton.

Tabel 3
Luas Panen dan Produksi Padi Sawah dan Padi Ladang
Menurut Desa Tahun 2010
No.
Desa
Padi Sawah
Padi ladang
Ha
Ton
Ha
Ton
1
Grogol
378
2270
0
0
2
Karangtengah
402
2414
0
0
3
Karangwuni
273
1640
0
0
4
Krajan
330
1982
0
0
5
Jatingarang
206
1237
0
0
6
Karanganyar
238
1429
0
0
7
Alasombo
150
901
0
0
8
Karangmojo
137
823
0
0
9
Weru
439
2637
0
0
10
Karakan
445
2673
0
0
11
Tegalsari
617
3706
0
0
12
Tawang
473
2841
0
0
13
Ngreco
454
2727
0
0
JUMLAH
4542
27279
0
0
2009
4213
27473
0
0
SUMBER DATA :Cabang dinas pertanian kecamatan

Dari data di atas menunjukan bahwa hasil panen padi tahun 2010 menunjukan penurunan dibanding tahun sebelumnya yaitu tahun 2009. Pada tahun 2009 luas area sawah yang ditanami padi seluas 4.213 Ha jumlah panen padi yang dihasilkan 27.473 ton , pada tahun 2010 luas sawah yang ditanami padi lebih luas dibanding tahun sebelumnya yaitu seluas 4.542 Ha namun jumlah panen padi mengalami penurunan yaitu 27.279 Ton.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat penurunan jumlah produksi padi diantaranya akses dari kota kecamatan ke desa di kecamatan weru yang sulit untuk dijangkau karena jalan rusak, belum adanya program subsidi pupuk dari pemerintah, kondisi cuaca yang tidak menentu.

D.    Analisis Ketersediaan Pangan dengan Indikator Konsumsi Normatif Perkapita Terhadap Rasio ketersediaan Beras di  Kecamatan Weru.
                Perhitungan rasio konsumsi terhadap ketersediaan padi yang diasumsikan untuk mengukur tingkat konsumsi beras dan kemampuan suatu daerah di Kecamatan Weru dalam menyediakan bahan pangan untuk mencukupi tingkat kebutuhan penduduknya yaitu :
·         Jika ketersediaan pangan (supply) lebih tinggi dibanding dengan jumlah konsumsi (demand) maka daerah tersebut di kategorikan sebagai daerah tahan pangan.
·         Jika ketersediaan pangan (supply) lebih rendah dibanding dengan jumlah konsumsi (demand) maka daerah tersebut di kategorikan sebagai daerah rawan pangan.
Adapun data yang harus di persiapkan yaitu :
§  Jumlah produksi padi .
§  Jumlah penduduk dalam satu wilayah ,analisa data yang dilakukan diantanya :
¨      Perhitungan ketersediaan beras pokok perkapita perhari
                                     = y gram
¨      Dibandingkan dengan konsumsi normatif beras perkapita/ hari = 300 gram
                                     = Z
§  Konsumsi normatif = pangan beras yang harus dikonsumsi yang harus dikonsumsi oleh seseorang untuk memperoleh 50% keperluan energi harinya dari beras.
§  Kategorinya sbb :
o   Z ≥ = 1,50 Defisit Tinggi
o   1,25 – 1,50 Defisit Sedang
o   1,00 – 1,25 Defisit Rendah
o   0,75 – 1,00 Surplus Rendah
o   0,50- 0,75  Surplus Sedang
o   <0,50         Surplus tinggi

Tabel 4
Analisa konsumsi normatif di Kecamatan Weru
No.
Desa
jumlah penduduk
(jiwa)
jumlah produksi padi
(Gr)
ketersediaan beras
perkapita perhari
konsumsi normatif
kategori
1
Grogol
3.747
2.270.000.000
1682,82
0,18
Surplus tinggi
2
Karangtengah
4.372
2.414.000.000
1533,75
0,20
Surplus tinggi
3
Karangwuni
3.802
1.640.000.000
1198,19
0,26
Surplus tinggi
4
Krajan
5.625
1.982.000.000
978,76
0,30
Surplus tinggi
5
Jatingarang
6.194
1.237.000.000
554,74
0,54
Surplus sedang
6
Karanganyar
5.631
1.429.000.000
704,92
0,42
Surplus tinggi
7
Alasombo
4.760
901.000.000
525,79
0,57
Surplus sedang
8
Karangmojo
5.439
823.000.000
420,31
0,71
Surplus sedang
9
Weru
4.703
2.637.000.000
1557,51
0,19
Surplus tinggi
10
Karakan
4.209
2.673.000.000
1764,07
0,17
Surplus tinggi
11
Tegalsari
5.209
3.706.000.000
1976,28
0,15
Surplus tinggi
12
Tawang
5.459
2.841.000.000
1445,62
0,20
Surplus tinggi
13
Ngreco
7.739
2.727.000.000
978,80
0,31
Surplus tinggi
Jumlah
27.290.000.000
0,32
Surplus tinggi

                Data di atas menunjukan bahwa analisa normatif di kecamatan Weru,menunjukkan ketahanan pangan rata-rata tiap desa di kecamatan Weru tergolong kategori surplus tinggi (0,32). Wilayah desa tergolong dalam surplus tinggi (tahan pangan) meliputi desa Grogol,Karangtengah, Karangwuni, Krajan, Karanganyar, Weru, Karakan, Tegalsari, Tawang, Ngreco. Kondisi ini dapat dilihat dari tingginya jumlah produksi padi di sepuluh desa tersebut dan besarnya jumlah penduduk yang ada.

E.     Kategori Desa Rawan Menurut Indikator Angka Kelahiran Dan Angka Kematian Penduduk di Kecamatan Weru.
Indikator angka kematian penduduk, data yang diperlukan adalah :
§  Jumlah penduduk yang dilahirkan (x)
§  Jumlah kematian penduduk (y)
 .

§  Kategorinya sebagai berikut :
o  
o   50 -<  55 % Rawan
o   45 - < 50 % Agak Rawan
o   40 -< 45 % Cukup Tahan
o   35 -< 40 % Tahan
o   ≤ = 35 % Sangat Tahan

Tabel 5
Analisis Angka Kematian penduduk di Kecamatan Weru
no
Desa
Jumlah
Kelahiran
jumlah
kematian
persentase
( % )
Kategori
1
Grogol
35
35
100,00
Sangat rawan
2
Karangtengah
38
20
52,63
Rawan
3
Karangwuni
35
17
48,57
Agak Rawan
4
Krajan
46
29
63,04
Sangat Rawan
5
Jatingarang
66
27
40,91
Cukup tahan
6
Karanganyar
49
25
51,02
Rawan
7
Alasombo
39
13
33,33
Sangat tahan
8
Karangmojo
36
18
50,00
Rawan
9
Weru
18
21
116,67
Sangat rawan
10
Karakan
29
25
86,21
Sangat rawan
11
Tegalsari
35
18
51,43
Rawan
12
Tawang
50
32
64,00
Sangat rawan
13
Ngreco
17
19
111,76
Sangat rawan
493
299
66,89
Sangat rawan

                Angka kematian penduduk di Kecamatan Weru tergolong sangat rawan.hal ini dibuktikan dengan persentase kematian  yang masih tergolong tinggi yaitu sebesar 66,89 %. Desa yang masih tergolong sangat rawan yaitu desa Grogol, desa Krajan, Desa Weru, Desa Karakan , Desa Tawang dan Desa Ngreco. Dan yang termasuk kategori Rawan yaitu Desa Karangtengah, Karanganyar, Karangmojo dan Tegalsari.

F.     Kategori Desa Rawan Pangan Menurut Indikator  Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Weru.
Jumlah Rumah tangga seluruhnya (RT) merupakan jumlah Rumah tangga di tiap-tiap desa di Kecamatan Weru. Sedangkan Jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) Merupakan Jumlah Rumah tangga yang dikategorikan Miskin menurut data pemerintahan Kecamatan Weru. Menurut Badan Ketahanan Pangan, desa yang terbilang rawan pangan merupakan desa yang jumlah penduduk miskinnya lebih dari 30 % dari total keseluruhan penduduk.

Perhitungan
Persentase  =  x 100 %
            Kategori  Rawan pangan apabila persentase rumah tangga miskin ≥ 30%.

Tabel 6
Analisis Perbandingan Antara Jumlah Rumah tangga seluruhnya dengan Jumlah Rumah Tangga Miskin Penerima Beras Raskin di Kecamatan Weru.

No.
Desa
 RT
RTM
Persentase (%)
Kategori
1
Grogol
904
247
27,3
Aman
2
Karangtengah
1017
309
30,4
Rawan
3
Karangwuni
981
161
16,4
Aman
4
Krajan
1108
370
33,4
Rawan
5
Jatingarang
1282
354
27,6
Aman
6
Karanganyar
1305
397
30,4
Rawan
7
Alasombo
1129
170
15,1
Aman
8
Karangmojo
1098
475
43,3
Rawan
9
Weru
1065
320
30,0
Rawan
10
Karakan
1087
400
36,8
Rawan
11
Tegalsari
1257
519
41,3
Rawan
12
Tawang
1182
330
27,9
Aman
13
Ngreco
1767
589
33,3
Rawan
JUMLAH
15182
4641
30,2
RAWAN

Data di atas menunjukan bahwa di Kecamatan Weru masih banyak terdapat desa yang dikategorikan sebagai desa rawan pangan berdasarkan jumlah Rumah Tangga Miskin yang ada. Persentase tertinggi terdapat di Desa Karangmojo yaitu 43,3 % , Desa Tegalsari sebesar 41,3 %, Desa Karakan 36,8 %, Desa Krajan 33,4 %, Desa Ngreco 33,3 % , Desa Karanganyar 30,4 % dan Terakhir Desa Weru sebanyak 30,0 %. Dari rata rata jumlah persentase di atas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Weru termasuk kategori daerah rawan pangan dengan persentase sebesar 30,2 %.

G.    Karasteristik Wilayah Pengeloaan Daerah Rawan Pangan di Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.

Tabel 7
Karasteristik Wilayah Pengeloaan Daerah Rawan Pangan
di Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.
Dimensi kelompok indikator
Indikator
o  Desa
a.       Ketersediaan Pangan
1)      Konsumsi Normatif


2)      Luas sawah dan hasil panen dibawah 1000 ton/ tahun.
o  Desa alasombo
o  Desa Karangmojo
o  Desa alasombo
o  Desa Karangmojo
b.      Akses pangan dan mata pencaharian.
3)      % Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
o  Desa Karangmojo
o  Desa Tegalsari
o  Desa Karakan
o  Desa Weru
o  Desa Krajan
o  Desa Ngreco
c.       Kesehatan dan Gizi
4)      % angka kematian penduduk
o  desa Grogol
o  desa Krajan
o  Desa Weru
o  Desa Karakan
o  Desa Tawang
o  Desa Ngreco.
o  Desa Karangtengah
o  Desa Karanganyr
o  Desa Karangmojo
o  Desa Tegalsari.








BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Daerah rawan pangan merupakan daerah yang jumlah penduduk miskinnya lebih dari 30 % dari total keseluruhan penduduk. Dari hasil penelitian di atas menunjukan bahwa Kecamatan Weru termasuk dalam kategori daerah rawan pangan  dengan persentase sebesar 3,02 %. Adapun daerah di kecamatan Weru yang terbilang daerah rawan pangan diantaranya : Desa Karangmojo yaitu 43,3 % , Desa Tegalsari sebesar 41,3 %, Desa Karakan 36,8 %, Desa Krajan 33,4 %, Desa Ngreco 33,3 % , Desa Karanganyar 30,4 % dan Terakhir Desa Weru sebanyak 30,0 %

B.  Saran
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan adalah Pengembangan Pangan Lokal, Pemanfaatan Pekarangan, Pengembangan Masyarakat di Lahan Kering. Pemberdayaan Kelembagaan Lumbung Pangan Masyarakat untuk antisipasi pada kondisi tertentu seperti gagal panen, adanya musim paceklik dan sebagainya dalam rangka menjaga stabilitas pangan terutama bagi rumah tangga miskin. Disamping itu, PKK dan Posyandu yang dapat memantau serta mengupayakan ketercapaian kualitas pangan rumah tangga miskin.









DAFTAR PUSTAKA



Katalog BPS. 2011 . KECAMATAN WERU DALAM ANGKA TAHUN 2011.
Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo.
Departemen Pertanian (1999).
Hasil penelitian Saliem et al. (2004);
PP No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.




1 komentar:

  1. PokerStars Casino - Johannesburg - JSM Hub
    Casino. Johannesburg, South Africa. JSM Hub. JSM's games, software, 수원 출장안마 betting options, online 남원 출장마사지 poker 경기도 출장마사지 rooms, online bookies, casino 포항 출장마사지 promotions, 사천 출장샵

    BalasHapus