INDIKATOR DAN PEMETAAN DAERAH RAWAN PANGAN
DALAM MENDETEKSI KERAWANAN PANGAN
DI KECAMATAN WERU KABUPATEN SUKOHARJO
LAPORAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
Ekologi Pangan dan Gizi
Disusun
Oleh:
1.
Ambar Kusumaningrum (1351700050)
2.
Amelia Nur Widya Vista (1351700038)
3.
Bibit Wahyudi (1351700056)
4.
Diah Indriyani (1351700054)
5.
Herlina (1351700021)
6.
Mahmud Tegar Safroni (1351700089)
7.
Sinta Tri Kurniawati (1351700025)
8.
Sri Murningsih (1351700012)
FAKULTAS
KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS
VETERAN BANGUN NUSANTARA
SUKOHARJO
2015
PENGESAHAN
Telah disahkan
oleh Dosen pengampu mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
Pada Hari :
Tanggal :
Menyetujui,
Dosen Pengampu
Rusjiyanto S.K.M, M.Si
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang
Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya yang telah melindungi, memberi
kekuatan serta membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
laporan ini.
Penulis menyadari bahwa tanpa
bantuan dari semua pihak, makalah ini tidak mungkin terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1.
Rusjiyanto S.K.M, M.Siselaku dosen pengampu
mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi yang telah memberi materi selama ini.
2.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo khususnya
Dinas ketahanan pangan Kabupaten Sukoharjo dan Pemerintah Kecamatanweru yang
telahmemberikan data dankerjasama yang baikdemi terselesainyatugasini.
3.
Seluruh anggota kelompok yang telah
mendukung sehingga dapat menyelesaikan laporan ini.
4.
Semua pihak yang turut membantu
terselesainya laporan ini.
Penulis tidak
luput dari kesalahan, untuk itu penulis selalu membuka kritik dan saran yang membangun
demi penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Sukoharjo,
April 2015
Penulis
Abstrak
Tujuan
dari penelitian ini menentukan tingkat produksi, ketersediaan pangan bagi
masyarakat dan menganalisis tingkat aksesibilitas pangan bagi rumah tangga di
desa-desa di kabupaten tertinggal Weru Sukoharjo.
Metode
penelitian yang digunakan yaitu metode analisis yang digunakan dalam penelitian
kualitatif adalahwawancaradananalisis
deskriptifuntuk mendekati situasi, struktur, perilaku, dan kinerja (SSPP) serta
metode penelitian kuantitatif.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada tahun 2010jumlah panen padi di Kecamatan Weru mengalami
penurunan dibandingkan pada tahun 2009 padahal luas tanah yang ditanami padi
semakin luas. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ketersediaan pangan,
ketahanan pangan di daerah penelitian masih sangat rendah. Faktor yang
mempengaruhi penurunan hasil panen diantaranya akses yang sulit untuk dijangkau
karena jalan yang rusak, tingginya curah hujan di tahun 2010.
Setelah
dilakukan analisa dengan data-data yang di peroleh di Kecamatan Weru ternyata
masih banyak daerah yang dikategorikan sebagai daerah Rawan Pangan berdasarkan
indikator indikator yang ada. Daerah Karangmojo merupakan daerah yang termasuk
kategori rawan karena daerah tersebut hampir masuk ke dalam seluruh indikator
yang ada.
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL...........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN
………………………………………...................ii
KATA PENGANTAR
………………………………....................................iii
DAFTAR ISI
………………………………………………………….............iv
DAFTAR
TABEL...............................................................................................v
DAFTAR
LAMPIRAN......................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
belakang ........................................................................................1
B. Rumusan
Masalah .................................................................................2
C. Tujuan
Penelitian.... ................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep
Ketahanan Pangan
B. Ketersediaan
Pangan
C. Keterjangkauan
Pangan
D. Manajemen
Cadangan Pangan
BAB III METODE
PENELITIAN
A. Waktu
dan Tempat Penelitian
B. Jenis
dan Teknik Pengumpulan Data
C. Metode
Analisis
BAB IV PEMBAHASAN HASIL
PENELITIAN
A. Profil
Kecamatan Weru..................................................................
B. Penduduk
di Kecamatan Weru
C. Tingkat
Produksi dan Kesediaan Pangan di Kecamatan Weru.
D. Analisis
Ketersediaan Pangan dengan Indikator Konsumsi Normatif Perkapita Terhadap Rasio
ketersediaan Beras di Kecamatan Weru.
E. Indikator
Angka Kelahiran Dan Angka Kematian Penduduk di Kecamatan Weru.
F.
Indikator Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Weru.
G. Karasteristik
Wilayah Pengeloaan Daerah Rawan Pangan di Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
LAMPIRAN...........................................................................................8
DAFTAR
TABEL
Tabel
1. Indikator
indikator yang digunakan dalam pemetaan daerah rawan pangan.
Tabel
2. Luas,
jumlahpenduduk, kepadatanpendudukdirincimenurutdesa tahun 2010
Tabel
3. LuasPanendanProduksiPadiSawahdanPadiLadangMenurutDesaTahun
2010.
Tabel
4. Analisakonsumsinormatif
di KecamatanWeru .
Tabel
5. AnalisisPerbandinganAntaraJumlahRumahtanggaseluruhnyadengan
Tabel
6. JumlahRumahTanggaMiskinPenerimaBerasRaskin
di KecamatanWeru.
Tabel
7. Karasteristik Wilayah Pengeloaan
Daerah Rawan Pangan di
Tabel
8. Kecamatan Weru Kabupaten
Sukoharjo.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Krisis pangan telah
benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia. Hal ini ditandai dengan
melonjaknya harga-harga pangan dunia seperti makanan pokok berupa gandum,
kedelai, beras, dan jagung. Penurunan pasokan berdampak pada harga pangan di
pasar dunia semakin melambung, sehingga mengakibatkan masyarakat miskin harus
membayar lebih mahal dibandingkan orang kaya di negara maju.
Departemen Pertanian
(1999) telah menetapkan isu ketahanan pangan sebagai salah satu fokus utama
kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian dalam Kabinet Gotong Royong
(1999-2004), dan komitmen ini dilanjutkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu
(2004-2009).Memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam
pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya
manusia suatu bangsa.
Selain itu, ketahanan
pangan dalam arti keterjangkauan pangan juga berkaitan erat dengan upaya
peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup
dan bermutu, tidak mungkin dihasilkan sumberdaya manusia yang bermutu, oleh
karena itu membangun sistem ketahanan pangan yang kokoh merupakan syarat mutlak
bagi pembangunan nasional. Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna
politis yang negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang,
krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa (Ariani et
al., 2006).
Kejadian rawan pangan di tingkat rumah tangga
dengan proporsi cukup besar masih ditemukan di daerah-daerah dengan ketahanan
pangan tingkat regional (provinsi) maupun tingkat nasional terjamin (Saliem et
al., 2001). Oleh karena itu pencapaian tingkat ketahanan pangan yang mantap di
tingkat nasional maupun regional saja tidak cukup.
Mantapnya ketahanan
pangan tingkat desa dan tingkat rumah tangga serta individu merupakan sasaran
pembangunan ketahanan pangan suatu negara. Pemerintah telah mengeluarkan PP No
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Intinya ketahanan pangan sangat penting
untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui
ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta
tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Berbekal PP tersebut semestinya, ketahanan pangan menjadi agenda
penting bagi pemerintah bersama masyarakat untuk dilaksanakan. Apalagi banyak
komoditi penting yang sampai saat ini masih harus impor untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Oleh karena itu,
membangun kewaspadaan dan atau ketahanan pangan dari strata pemerintahan yang
paling rendah yaitu desa (kelurahan) secara bertahap dan konsisten menjadi
suatu keniscayaan untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan di tingkat desa dan
atau rumah tangga. Ketahanan pangan merupakan salah satu isu sensitif bagi
keamanan suatu bangsa. Secara umum, ketahanan pangan yang rapuh akan memicu
terjadinya konflik.
Jacques Diouf (2008)
selaku Direktur Jenderal Badan Pangan Dunia (FAO), mengatakan bahwa kelangkaan
pangan yang disusul melambungnya harga telah memicu kerusuhan, antara lain di
Mesir, Kamerun, Haiti, dan Burkina Faso. Ketersediaan pangan yang cukup secara
nasional ternyata tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah
(regional), pedesaan, serta rumah tangga individu. Hal ini ditunjukkan antara
lain dari studi yang dilakukan oleh Saliem et al. (2004). Terkait dengan fakta
tersebut maka masalah bagaimana mengelola ketersediaan pangan yang cukup
tersebut agar dapat diakses oleh rumah tangga individu di masing-masing wilayah
desa merupakan isu menarik untuk ditelaah.
Pengelolaan pangan
terkait dengan masalah bagaimana mengelola cadangan pangan, dalam hal ini
manajemen cadangan pangan merupakan salah satu aspek yang belum banyak dikaji
secara baik. Ketahanan pangan juga merupakan isu sentral yang menjadi domain
utama pemerintah kabupaten Sukoharjo, meskipun sudah diketahui publik bahwa
Sukoharjo merupakan salah satu lumbung beras nasional atau berhasil sebagai
daerah swasembada beras. Hal ini dibuktikan dengan jumlah produksi beras
Sukoharjo yang cukup signifikan, yaitu pada posisi April 2006 mencapai 29.352
ton GKG dengan luas lahan panen 4.651 ha. (Pemda Sukoharjo, 2008).
Namun bukan berarti
kabupaten Sukoharjo telah terbebas dari persoalan rawan pangan dan atau
ketahanan pangan. Persoalan ketahanan pangan bagi pemerintah daerah tentunya
bukan sekedar terpenuhinya aspek ketersediaan pangan bagi masyarakat (rumah
tangga) artinya pemerintah telah mampu menyediakan pangan bagi seluruh anggota
masyarakatnya (Nainggolan, 2006), tetapi juga yang jauh lebih penting adalah
aspek aksesibilitas (keterjangkauan) masyarakat (rumah tangga) terhadap bahan
pangan. Daya beli rumah tangga merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap keterjangkauan pangan. Sementara, daya beli masyarakat sangat
dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan harga komoditas pangan.
Dari data dinas ketahanan pangan menunjukan bahwa kecamatan weru terutama desa Karangmojo
memiliki
angka
persentase
tertinggi no. 6 di kabupaten
sukoharjo yang termasuk
daerah
rawan
pangan
yaitu
sebesar 41,6%.
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga (Imron
Rosyadi dan Didit Purnomo) 305 Pertanyaan krusialnya adalah seberapa besar
keterjangkauan rumah tangga-rumah tangga (masyarakat) terhadap bahan pangan,
khususnya beras di kabupaten Sukoharjo. Total penduduk Sukoharjo pada tahun 2005
sebesar 817.108 jiwa atau 202.930 KK (PNPM, 2008), yang tersebar pada 12
kecamatan, 152 desa dan 17 kelurahan (Pemkab Sukoharjo, 2008).
Dari 202.930 KK
tersebut terdapat 90.701 KK yang termasuk dalam kategori KK Miskin dengan rincian
per-kecamatan yaitu: 10.089 KK di kecamatan Weru; 11.002 KK di kecamatan
Polokarto; 6.616 KK di kecamatan Gatak; 7.567 KK di kecamatan; 9.425 KK di
kecamatan Tawangsasri; 9.574 KK di kecamatan Sukoharjo; 5.841 KK di kecamatan
Nguter; 7.796 KK di kecamatan Bendosari; 8.307 KK di kecamatan Mojolaban; 5.502
di kecamatan Baki; 3.671 KK di kecamatan Grogol dan 5.311 KK di kecamatan
Kartasura. Sementara dari 152 desa di kabupaten Sukoharjo terdapat 26 desa
tertinggal (PNPM, 2008).
B. Rumusan
masalah
Di daerah penelitian yaitu di kecamatan Weru
terdapat desa yang termasuk dalam kategori desa rawan pangan serta terdapat
10.089 KK yang termasuk dalam kategori KK miskin. Data-data tersebut secara
eksplisit menunjukkan adanya paradoksal bahwa predikat yang disandang kabupaten
Sukoharjo sebagai salah satu daerah lumbung pangan nasional dan merupakan salah
satu kabupaten di Indonesia yang berhasil swasembada beras, kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa aksesibilitas (keterjangkauan) pangan dan atau
ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan masih sangat rendah. Sehingga dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
a.
Mengidentifikasi seberapa besar tingkat
produksi dan ketersediaan pangan bagi rumah
tangga di desa-desa tertinggal di kecamatan Weru.
b.
Menganalisis masalah dan
mengidentifikasi daerah yang dikategorikan daerah rawan pangan kususnya di
Kecamatan Weru, yang dihitung berdasarkan data-data yang di peroleh dari hasi
penelitian.
c.
Menganalisis
masalah yang dihadapi
oleh
warga
serta
mengidentifikasi
besar
tingkat aksesibilitas (keterjangkauan) pangan bagi rumah tangga di desa-desa di
kecamatan Weru.
C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah
untuk manganalisis tingkat keterjangkauan pangan dan atau ketahanan pangan
rumah tangga di desa tertinggal dalam rangka merumuskan model peran pemerintah
desa melalui “lembaga lumbung pangan (LLP)” desa dalam pengelolaan stok
(cadangan) pangan di desa-desa tertinggal. Secara rinci tujuan penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
a.
Untuk mengidentifikasi tingkat produksi,
ketersediaan pangan bagi masyarakat di desa-desa di Kecamatan Weru .
b.
Mengidentifikasi daerah rawan pangan
yang berada di Kecamatan Weru.
c.
Mengetahui dan mengidentifikasi tingkat
aksesibilitas (keterjangkauan) pangan bagi rumah tangga di desa-desa yang
dikategorikan rawan pangan.
d.
Menentukan
variabel-variabel yang menjadi indikator
yang dapat menimbulkan masalah ketahanan pangan.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Konsep Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan yang disepakati
secara internasional dalam World Conference on Human Right 1993 dan World Food
Summit 1996, seperti dilaporkan oleh Saliem et al. (2005); adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu baik dalam jumlah maupun mutu agar
dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai dengan budaya
setempat. UndangUndang No.7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa
ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Rusastra et al. (2005) menyebutkan bahwa
ketahanan pangan ditentukan secara bersama antara ketersediaan pangan dan akses
individu atau rumah tangga untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan.
Purwaningsih (2008) dan Ariani (2006) melaporkan hasil penelitianya bahwa di
Indonesia, peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program utama
nasional sejak satu dasawarsa terakhir. Hal ini juga terkait dengan komitmen
Indonesia sebagai salah satu penandatangan kesepakatan dalam MDGs yang
menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara diharapkan dapat menurunkan
kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990.
Pada tahun 2004 muncul kembali kasus
gizi buruk di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kemudian
diikuti oleh provinsi lainnya. Faktor penyebab kerawanan pangan di suatu
wilayah dan rumah tangga mempunyai sifat multidimensional, ditentukan oleh
berbagai faktor dan melibatkan berbagai sektor.
B. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan yang cukup secara nasional
ternyata tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional),
tingkat desa dan rumah tangga individu. Hal ini ditunjukkan antara lain dari
studi yang dilakukan oleh Nurmanaf et al (2006). Terkait dengan fakta tersebut
maka masalah bagaimana mengelola ketersediaan pangan yang cukup tersebut agar
dapat diakses oleh rumah tangga individu di masing-masing wilayah merupakan isu
menarik untuk ditelaah. Pengelolaan pangan terkait dengan masalah bagaimana
mengelola cadangan pangan, dalam hal ini manajemen cadangan pangan merupakan
salah satu aspek yang belum banyak dikaji secara baik (Saliem et al., 2005).
Ketersediaan pangan tingkat nasional dan
regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau
individu. Hal ini karena di samping ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumah
tangga individu sangat ditentukan pula oleh akses untuk mendapat pangan
tersebut. Dalam hal ini tingkat pendapatan dan daya beli merupakan faktor
penentu akses rumah tangga terhadap pangan. Selain itu, di tingkat pengambil kebijakan,
kejadian rawan pangan antara lain terkait dengan masalah kebijakan stabilitas
harga pangan dan manajemen cadangan stok pangan (Irawan et al., 2006).
Lokollo et al., (2007) menunjukkan bahwa
adanya gejolak harga pangan (beras) berdampak negatif terhadap daya beli
konsumen dan menghambat rumah tangga untuk akses terhadap pangan yang
dibutuhkan. Di tingkat produsen (petani), gejolak harga dan turunnya harga
gabah pada saat panen raya berdampak menurunkan pendapatan petani yang dapat
diartikan pula menurunkan daya beli petani. Dengan demikian ketidakstabilan
harga beras berdampak pula terhadap daya beli dan akses terhadap pangan pada
petani (khususnya yang berstatus net-consumer).
C. Keterjangkauan Pangan
Keterjangkauan pangan atau aksesibilitas
masyarakat (rumah tangga) terhadap bahan pangan sangat ditentukan oleh daya
beli, dan daya beli ini ditentukan oleh besamya pendapatan dan harga komoditas
pangan. Pengaruh pendapatan terhadap akses pangan dapat dilihat melalui
pengeluaran bahan pangan, yaitu dengan besamya proporsi pengeluaran rumah
tangga untuk bahan pangan. Selanjutnya harga pangan berpengaruh terhadap
aksesibilitas terhadap bahan pangan melalui daya beli.
1.
Pengeluaran Bahan Pangan.
Terdapat
hubungan yang negatif antara proporsi pengeluaran bahan pangan dan ketahanan
pangan (ditinjau dari akses ke pangan) (Hukum Working 1943, dikutip oleh
Pakpahan, dkk., 1993 dalam Rachman, dkk., 2002):
a.
Semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan, maka akses terhadap bahan pangan adalah rendah. Semakin besar proporsi
pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan juga menunjukkan rendahnya
kepemilikan bentuk kekayaan lain yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan;
b.
Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan, maka akses terhadap bahan pangan adalah besar, atau menunjukkan semakin
tinggi ketahanan pangannya.
c.
Semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan, juga menunjukkan tingginya kepemilikan bentuk kekayaan lain yang dapat
ditukarkan dengan bahan pangan;
1.
Harga Komoditas Pangan.
Harga pangan menentukan daya beli masyarakat terhadap pangan,
dan terdapat hubungan negatif Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga (Imron
Rosyadi dan Didit Purnomo) 307 antara keduanya. Harga yang meningkat (pada
pendapatan tetap), maka daya beli menurun, dan sebaliknya apabila harga turun.
Dengan demikian stabilitas harga pangan sangat penting untuk menjamin bahwa
masyarakat dapat menjangkau kebutuhan pangannya.
D.
Manajemen Cadangan Pangan.
Saliem et al. (2005) tentang kebijakan
pengelolaan cadangan pangan dapat dipaparkan sebagai berikut:
1) Salah satu kekuatan dalam
pengembangan cadangan pangan masyarakat adalah tradisi masyarakat petani secara
perorangan untuk menyisihkan hasil panennya guna cadangan pangan masih relatif
tinggi. Kekuatan lainnya adalah bahwa produksi padi per satuan luas relatif
tinggi sehingga memungkinkan masyarakat petani secara perorangan mengalokasikan
hasil panennya baik untuk dijual langsung guna mendapatkan uang tunai maupun
untuk disimpan sebagai cadangan pangan;
2) Kelemahan pertama dalam
pengembangan cadangan masyarakat adalah bahwa pengembangan cadangan pangan oleh
rumah tangga petani secara perorangan membutuhkan ruang khusus dengan ukuran
tertentu yang dapat digunakan untuk menyimpan gabah hingga menjelang panen
berikutnya yang sulit untuk dipenuhi oleh setiap rumah tangga petani. Kelemahan
kedua adalah bahwa tradisi masyarakat petani untuk melakukan cadangan pangan
secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan cenderung melemah;
3) Salah satu faktor yang dapat dipandang sebagai
peluang atau kesempatan dalam pengembangan cadangan pangan masyarakat adalah
bahwa secara empiris masalah pangan bisa terjadi kapan saja baik disebabkan
oleh bencana alam (natural disaster) maupun bencana buatan manusia (konflik
sosial) (man made disaster). Faktor lainnya yang dapat dianggap sebagai peluang
atau kesempatan adalah bahwa pemerintah berkewajiban mendorong keikutsertaan
masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan sebagaimana diktum PP Nomor
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan;
4) Salah satu tantangan atau ancaman
dalam pengembangan cadangan masyarakat berupa terciptanya kondisi ekonomi di
mana pangan pokok tersedia secara cukup baik jumlah maupun mutunya serta terjangkau
daya beli masyarakat seperti terjadi pada paruh kedua jaman Orde Baru.
Tantangan atau ancaman lainnya berupa semakin luasnya adopsi kelembagaan sistem
panen secara tebasan dengan konsekuensi petani penggarap tidak lagi membawa
pulang gabah tetapi uang tunai.
5) Dalam konteks pengembangan
cadangan pangan masyarakat, strategi yang dipilih untuk mewujudkan tersebarnya
cadangan pangan di semua komponen masyarakat serta teratasinya masalah pangan
secara cepat adalah sebagai berikut.
ü
Pertama,
melakukan sosialisasi bahwa mengandalkan sepenuhnya pemenuhan kebutuhan pangan
pokok lewat pasar bebas adalah riskan karena masalah pangan bisa terjadi kapan
saja.
ü
Kedua,
melakukan sosialisasi bahwa petani produsen juga bertanggungjawab untuk
menyelenggarakan cadangan pangan masyarakat.
ü
Ketiga,
menumbuh kembangkan dan sekaligus memelihara tradisi melakukan cadangan pangan
di tingkat rumah tangga secara sendiri-sendiri.
ü
Keempat,
menumbuhkan motivasi petani produsen agar membiasakan diri untuk melakukan
cadangan pangan secara kolektif dengan membangun lumbung pangan.
ü
Kelima,
mengelola lumbung pangan dengan orientasi usaha sebagai kegiatan ekonomi bukan
lagi sebagai kegiatan sosial, sehingga lembaga ini secara bertahap dapat
berperan sebagai salah satu sarana kegiatan ekonomi masyarakat di pedesaan dan
tumbuh kembali tradisi masyarakat petani melakukan cadangan pangan secara
kolektif.
Dalam
konteks pengembangan cadangan pangan pemerintah, strategi yang dipilih untuk
mewujudkan tersebarnya cadangan pangan di semua lini pemerintahan serta
teratasinya masalah pangan secara cepat adalah sebagai berikut.
·
Pertama,
melakukan sosialisasi tentang pentingnya tersedianya cadangan pangan di
berbagai tingkat pemerintahan maupun di berbagai elemen masyarakat dalam rangka
perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan masalah pangan.
·
Kedua,
mempertahankan sistem pencadangan pangan beras yang bersifat sentralistik
sebagaimana telah dijalankan selama ini oleh pemerintah pusat. Pertim- 308
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 2, Desember 2012: 229-315 bangan
pertama, dalam implementasinya sistem ini tidak membutuhkan banyak koordinasi
sehingga untuk mengatasi masalah pangan yang umumnya harus dilaksanakan dengan
segera adalah sangat sesuai. Pertimbangan kedua, penerapan sistem bertingkat
dua (two-tier system) selama periode tahun 1952-1958 di mana di tingkat pusat
dibentuk Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) dan di tingkat daerah dibentuk
Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) ternyata dalam prakteknya kedua lembaga ini
tidak sinkron.
·
Ketiga,
melakukan pembagian peran dalam pencadangan pangan antara pemerintah pusat dan
pemda berdasarkan pada jenis bahan pangan pokoknya.
·
Keempat,
menggunakan pendekatan desentralistik (bukan terpusat) dalam mekanisme
penyaluran stok beras untuk keadaan darurat dengan pertimbangan untuk
memperpendek jalur birokrasi sehingga penanggulangan masalah pangan dapat
dilakukan dengan lebih cepat.
·
Kelima,
melakukan pembagian peran dalam pencadangan pangan beras antara pemerintah
pusat dan pemda ditinjau dari jenis stok berasnya. Peranan Inovasi Teknologi
Padi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu
dan Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Weru ,
Kabupaten Sukoharjo , yang dilakukan selama
2 hari pada tanggal 6-7 April 2015.
B. Jenis
dan Teknik Pengumpulan Data.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan mengutip laporan maupun
dokumen dari instansi pemerintah atau lembaga yang terkait dengan penelitian
ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara,pencatatan,
dokumentasi dan recall.
Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan
Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo dan Pemerintah Kecamatan Weru, profil Kecamatan
Weru dan
dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini serta data primer yang
dikumpulkan di lokasi penelitian dengan metode purposive sampling yaitu:
1.
Mengumpulkan data dari berbagai sumber terpercaya dan
kemudian untuk dianalisa dan di jabarkan bentuk permasalahan.
2.
Informasi
kualitatif yang diperoleh dari informan kunci dari badan
aparatur terkait
tingkat kabupaten dan kecamatan lokasi penelitian di daerah penelitian.
3.
Menghitung
seberapa banyak desa yang di kategori sebagai desa rawan pangan di Kecamatan
Weru dengan rumus sebagai berikut :
Persentase = x 100 %
C. Metode Analisis.
Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualitatif
(analitis) dalam kerangka pendekatan situasi, struktur, perilaku dan performa
(SSPP) dan Metode Kuantitatif . Penggunaan pendekatan ini dasarkan atas
pertimbangan performa seperti, belum terwujudnya manajemen cadangan pangan di
daerah penelitian,masih banyaknya jumlah rumah tangga miskin di daerah
penelitian, serta adanya dugaan bahwa rawan (rentan) pangan banyak terjadi di
desa-desa yang mempunyai jumlah Rumah Tangga Miskin yang banyak.
Variabel-variabel
yang digunakan dalam penelitian, dapat definisikan sebagai berikut:
1. Tingkat produksi dan ketersediaan
pangan adalah jumlah rata-rata produksi padi per-tahun per-ha di setiap desa di
Kecamatan Weru.
2. Rumah Tangga Miskin merupakan
Rumah tangga di setiap daerah di kecamatan weru yang dikategorikan sebagai
rumah tangga kurang mampu oleh pemerintah setempat .
Indikator indikator yang digunakan dalam pemetaan
daerah rawan
pangan yaitu sebagai berikut :
Tabel
1
Indikator indikator yang
digunakan dalam pemetaan daerah rawan pangan
Dimensi Kelompok Indikator
|
Indikator
|
Pemenuhan
|
A.
Ketersediaan pangan
|
1)
Konsumsi normatif perkapita rasio ketersediaan beras.
2)
Luas sawah dan hasil panen
|
o Data
terpenuhi.
o Data
terpenuhi
|
B.
Akses Pangan dan Mata Pencaharian
|
3)
% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
4)
Akses jalan sepanjang kecamatan Weru.
5)
% Desa yang tidak mempunyai akses listrik.
6)
% keluarga sejahtera.
7)
Jumlah sarana perekonomian
|
o Data
terpenuhi
o Data terlampir
.
o Data
tidak terpenuhi.
o Data
terlampir.
o Data
terlampir
|
C.
Kesehatan dan Gizi.
|
8)
Angka harapan Hidup pada saat lahir.
9)
Berat badan balita dibawah standar.
10)
Angka penduduk cacat.
11)
Angka kematian penduduk.
12)
% penduduk tanpa akses ke air bersih.
13)
% penduduk yang tinggal > 5KM dari Kecamatan.
|
o Data
tidak terpenuhi.
o Data
tidak terpenuhi.
o Data
terlampir.
o Data
terpenuhi.
o Data
tidak terpenuhi.
o Data
Terlampir.
|
D.
Kerawanan pangan
|
14)
% Daerah berhutan .
15)
% Daerah puso
16)
% Daerah Rawan Banjir.
17)
% Perbandingan Curah hujan.
|
o Data
tidak terpenuhi
o Data
tidak terpenuhi
o Data
terpenuhi.
|
BAB
IV
PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
A. Profil Kecamatan Weru
Kecamatan Weru terletak di KabupatenSukoharjo, Jawa
Tengah. Kecamatan Weru terletak di daerah dengan ketinggian 118 m di atas permukaan
laut,dengan luas wilayah 41,98 Km2 . Jarak dari barat ketimur + 8,0
Km. Jarak dari utara keselatan + 15,0 Km, Jarak dari ibu kota kecamatan ke ibukota
Kabupaten Sukoharjo + 20,0 Km.
Batas kecamatan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, sebelah
timur berbatasan dengan Kecamatan Manyaran, KabupatenWonogiri, sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Semin, DIY, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Klaten. Kecamatan Weru memiliki iklim dengan rata-rata curah hujan dalam 1
tahun sekitar 220 mm.
Luas wilayah Kecamatan Weru pada tahun 2010 tercatat
4.198 Ha atau sekitar 8,99 % dari luas Kabupaten Sukoharjo (46.666 Ha). Desa ngreco
merupakan desa yang terluas wilayahnya yaitu 479 Ha (11,34%) sedangkan yang
terkecil luasnya adalah desa Grogol yaitu sebesar 213 Ha (5.07%).
Luas yang ada terdiri dari 1.989 Ha atau sekitar
47,38% lahan sawah dan yang bukan lahan sawah sekitar 2.209 Ha atau sekitar 52,62 %. Luas lahan bukan sawah
yang digunakan untuk pekarangan sebesar 67,74 % dari total luas lahan bukan sawah.
Sebagian besar tanah sawah di KecamatanWeru berpengairan
Kecamatan Weru terbagi dalam 13 Desa, wilayah tersebut
terdiri dari 48 dusun, 137 RW dan 397 RT. Data pada tahun 2010 menunjukan Jumlah
Penduduk di Kecamatan Weru tercatat 66.893 jiwa yang terdiri dari 32.909
penduduk laki-laki (49,19 %) dan 33.984 penduduk perempuan (50,81 %). Dilihat dari
angka kelahiran kasar (CBR)-nya, dari tiap 1000 penduduk terjadi kelahiran sebanyak
7 orang, sementara angka kematian kasarnya 4 orang per 1000 penduduk.
Di kecamatan weru terdapat 4.641 rumah tangga miskin
yang tersebar di 13 kelurahan. Terdapat 3 kelurahan yang masih dikategorikan
desa rawan pangan dengan penerima jumlah raskin yang masih banyak yaitu desa
Ngreco, Tegalsari dan Karangmojo.
B. Penduduk di Kecamatan Weru
Pertumbuhan dan kepadatan penduduk mengalami
peningkatan dalam satu tahun, berdasarkan data dari profil desa jumlah penduduk
pada tahun 2009 adalah 66.833 jiwa sedangkan pada tahun 2010 mengalami
peningkatan sebesar 0.1 % yaitu 66.893 jiwa. Berikut data penduduk di Kecamatan
Weru yang di ambil dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010.
Tabel 2
Luas, jumlah penduduk, kepadatan penduduk
dirinci menurut desa tahun 2010.
No
|
Desa
|
Luas wilayah (km2 )
|
Jumlah
penduduk
|
Kepadatan tiap
(jiwa/ Km2 )
|
1
|
Grogol
|
2,13
|
3.747
|
1.759
|
2
|
Karangtengah
|
2,62
|
4.372
|
1.669
|
3
|
Karangwuni
|
2,28
|
3.802
|
1.669
|
4
|
Krajan
|
3,35
|
5.625
|
1679
|
5
|
Jatingarang
|
3,22
|
6.194
|
1.924
|
6
|
Karanganyar
|
3,07
|
5.631
|
1.834
|
7
|
Alasombo
|
4,59
|
4.760
|
1.037
|
8
|
Karangmojo
|
3,72
|
5.439
|
1.462
|
9
|
Weru
|
2,94
|
4.703
|
1.600
|
10
|
Karakan
|
2,80
|
4.209
|
1.503
|
11
|
Tegalsari
|
3,35
|
5.209
|
1.555
|
12
|
Tawang
|
3,15
|
5.459
|
1.733
|
13
|
Ngreco
|
4,76
|
7.739
|
1.626
|
JUMLAH
|
41,98
|
66.893
|
1.593
|
|
2009
|
41,98
|
66.833
|
1.592
|
SUMBER DATA: BPS Kabupaten Sukoharjo
C. Tingkat Produksi dan Kesediaan Pangan
di
Kecamatan Weru.
Sebagian besar tanah
sawah di KecamatanWeru berpengairan iris (Irigasi teknis, irigasi1 /
2 teknis dan irigasi sederhana)
yaitu seluas 513 Ha ( 81,10 %) dan tadah hujan 376nHa (18,90%). Pada tahun 2010
untuk luas panen dan produksi tananaman padi sawah yaitu 4.542 Ha dan 27.279 ton.
Palawija diantaranya jagung sebesar 481 Ha dan 3.708 ton, kacang tanah sebesar
235 Ha dan 410 Ton, sedangkan untuk kedelai 1.679 Ha dan 4.106 ton.
Tabel 3
Luas Panen dan Produksi Padi Sawah dan Padi Ladang
Menurut Desa Tahun 2010
No.
|
Desa
|
Padi Sawah
|
Padi ladang
|
||
Ha
|
Ton
|
Ha
|
Ton
|
||
1
|
Grogol
|
378
|
2270
|
0
|
0
|
2
|
Karangtengah
|
402
|
2414
|
0
|
0
|
3
|
Karangwuni
|
273
|
1640
|
0
|
0
|
4
|
Krajan
|
330
|
1982
|
0
|
0
|
5
|
Jatingarang
|
206
|
1237
|
0
|
0
|
6
|
Karanganyar
|
238
|
1429
|
0
|
0
|
7
|
Alasombo
|
150
|
901
|
0
|
0
|
8
|
Karangmojo
|
137
|
823
|
0
|
0
|
9
|
Weru
|
439
|
2637
|
0
|
0
|
10
|
Karakan
|
445
|
2673
|
0
|
0
|
11
|
Tegalsari
|
617
|
3706
|
0
|
0
|
12
|
Tawang
|
473
|
2841
|
0
|
0
|
13
|
Ngreco
|
454
|
2727
|
0
|
0
|
JUMLAH
|
4542
|
27279
|
0
|
0
|
|
2009
|
4213
|
27473
|
0
|
0
|
SUMBER DATA :Cabang dinas pertanian kecamatan
Dari data di atas menunjukan bahwa hasil panen padi tahun
2010 menunjukan penurunan dibanding tahun sebelumnya
yaitu tahun 2009. Pada tahun 2009 luas area sawah yang ditanami padi seluas
4.213 Ha jumlah panen padi yang dihasilkan 27.473 ton , pada tahun 2010 luas
sawah yang ditanami padi lebih luas dibanding tahun sebelumnya yaitu seluas
4.542 Ha namun jumlah panen padi mengalami penurunan yaitu 27.279 Ton.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat penurunan
jumlah produksi padi diantaranya akses dari kota kecamatan ke desa di kecamatan
weru yang sulit untuk dijangkau karena jalan rusak, belum adanya program
subsidi pupuk dari pemerintah, kondisi cuaca yang tidak menentu.
D.
Analisis Ketersediaan Pangan dengan Indikator Konsumsi
Normatif Perkapita Terhadap Rasio ketersediaan Beras di Kecamatan Weru.
Perhitungan
rasio konsumsi terhadap ketersediaan padi yang diasumsikan untuk mengukur
tingkat konsumsi beras dan kemampuan suatu daerah di Kecamatan Weru dalam menyediakan
bahan pangan untuk mencukupi tingkat kebutuhan penduduknya yaitu :
·
Jika ketersediaan pangan (supply) lebih tinggi
dibanding dengan jumlah konsumsi (demand) maka daerah tersebut di kategorikan
sebagai daerah tahan pangan.
·
Jika ketersediaan pangan (supply) lebih rendah
dibanding dengan jumlah konsumsi (demand) maka daerah tersebut di kategorikan
sebagai daerah rawan pangan.
Adapun
data yang harus di persiapkan yaitu :
§ Jumlah
produksi padi .
§ Jumlah
penduduk dalam satu wilayah ,analisa data yang dilakukan diantanya :
¨ Perhitungan
ketersediaan beras pokok perkapita perhari
= y gram
¨ Dibandingkan
dengan konsumsi normatif beras perkapita/ hari = 300 gram
= Z
§ Konsumsi
normatif = pangan
beras yang harus dikonsumsi yang harus dikonsumsi oleh seseorang untuk
memperoleh 50% keperluan energi harinya dari beras.
§ Kategorinya
sbb :
o
Z ≥ = 1,50 Defisit Tinggi
o
1,25 – 1,50 Defisit Sedang
o
1,00 – 1,25 Defisit Rendah
o
0,75 – 1,00 Surplus Rendah
o
0,50- 0,75
Surplus Sedang
o
<0,50
Surplus tinggi
Tabel 4
Analisa konsumsi normatif di Kecamatan Weru
No.
|
Desa
|
jumlah penduduk
(jiwa)
|
jumlah produksi padi
(Gr)
|
ketersediaan
beras
perkapita
perhari
|
konsumsi normatif
|
kategori
|
1
|
Grogol
|
3.747
|
2.270.000.000
|
1682,82
|
0,18
|
Surplus
tinggi
|
2
|
Karangtengah
|
4.372
|
2.414.000.000
|
1533,75
|
0,20
|
Surplus
tinggi
|
3
|
Karangwuni
|
3.802
|
1.640.000.000
|
1198,19
|
0,26
|
Surplus
tinggi
|
4
|
Krajan
|
5.625
|
1.982.000.000
|
978,76
|
0,30
|
Surplus
tinggi
|
5
|
Jatingarang
|
6.194
|
1.237.000.000
|
554,74
|
0,54
|
Surplus
sedang
|
6
|
Karanganyar
|
5.631
|
1.429.000.000
|
704,92
|
0,42
|
Surplus
tinggi
|
7
|
Alasombo
|
4.760
|
901.000.000
|
525,79
|
0,57
|
Surplus
sedang
|
8
|
Karangmojo
|
5.439
|
823.000.000
|
420,31
|
0,71
|
Surplus
sedang
|
9
|
Weru
|
4.703
|
2.637.000.000
|
1557,51
|
0,19
|
Surplus
tinggi
|
10
|
Karakan
|
4.209
|
2.673.000.000
|
1764,07
|
0,17
|
Surplus
tinggi
|
11
|
Tegalsari
|
5.209
|
3.706.000.000
|
1976,28
|
0,15
|
Surplus
tinggi
|
12
|
Tawang
|
5.459
|
2.841.000.000
|
1445,62
|
0,20
|
Surplus
tinggi
|
13
|
Ngreco
|
7.739
|
2.727.000.000
|
978,80
|
0,31
|
Surplus
tinggi
|
Jumlah
|
27.290.000.000
|
0,32
|
Surplus
tinggi
|
Data
di atas menunjukan bahwa analisa normatif di kecamatan Weru,menunjukkan
ketahanan pangan rata-rata tiap desa di kecamatan Weru tergolong kategori
surplus tinggi (0,32). Wilayah desa tergolong dalam surplus tinggi (tahan
pangan) meliputi desa Grogol,Karangtengah, Karangwuni, Krajan, Karanganyar,
Weru, Karakan, Tegalsari, Tawang, Ngreco. Kondisi ini dapat dilihat dari
tingginya jumlah produksi padi di sepuluh desa tersebut dan besarnya jumlah
penduduk yang ada.
E. Kategori Desa Rawan Menurut Indikator Angka Kelahiran
Dan Angka Kematian Penduduk di Kecamatan Weru.
Indikator angka kematian penduduk, data yang
diperlukan adalah :
§
Jumlah penduduk yang
dilahirkan (x)
§
Jumlah kematian penduduk (y)
.
§
Kategorinya sebagai berikut
:
o
o 50 -< 55 %
Rawan
o 45 - < 50 % Agak Rawan
o 40 -< 45 % Cukup Tahan
o 35 -< 40 % Tahan
o ≤ = 35 % Sangat Tahan
Tabel 5
Analisis Angka Kematian
penduduk di Kecamatan Weru
no
|
Desa
|
Jumlah
Kelahiran
|
jumlah
kematian
|
persentase
( % )
|
Kategori
|
1
|
Grogol
|
35
|
35
|
100,00
|
Sangat rawan
|
2
|
Karangtengah
|
38
|
20
|
52,63
|
Rawan
|
3
|
Karangwuni
|
35
|
17
|
48,57
|
Agak Rawan
|
4
|
Krajan
|
46
|
29
|
63,04
|
Sangat Rawan
|
5
|
Jatingarang
|
66
|
27
|
40,91
|
Cukup tahan
|
6
|
Karanganyar
|
49
|
25
|
51,02
|
Rawan
|
7
|
Alasombo
|
39
|
13
|
33,33
|
Sangat tahan
|
8
|
Karangmojo
|
36
|
18
|
50,00
|
Rawan
|
9
|
Weru
|
18
|
21
|
116,67
|
Sangat rawan
|
10
|
Karakan
|
29
|
25
|
86,21
|
Sangat rawan
|
11
|
Tegalsari
|
35
|
18
|
51,43
|
Rawan
|
12
|
Tawang
|
50
|
32
|
64,00
|
Sangat rawan
|
13
|
Ngreco
|
17
|
19
|
111,76
|
Sangat rawan
|
493
|
299
|
66,89
|
Sangat rawan
|
Angka kematian penduduk di Kecamatan
Weru tergolong sangat rawan.hal ini dibuktikan dengan persentase kematian yang masih tergolong tinggi yaitu sebesar
66,89 %. Desa yang masih tergolong sangat rawan yaitu desa Grogol, desa Krajan,
Desa Weru, Desa Karakan , Desa Tawang dan Desa Ngreco. Dan
yang termasuk kategori Rawan yaitu Desa Karangtengah, Karanganyar, Karangmojo
dan Tegalsari.
F. Kategori Desa Rawan Pangan Menurut Indikator Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Weru.
Jumlah Rumah tangga seluruhnya (RT) merupakan jumlah
Rumah tangga di tiap-tiap desa di Kecamatan Weru. Sedangkan Jumlah Rumah Tangga
Miskin (RTM) Merupakan Jumlah Rumah tangga yang dikategorikan Miskin menurut
data pemerintahan Kecamatan Weru. Menurut Badan Ketahanan Pangan, desa yang terbilang
rawan pangan merupakan desa yang jumlah penduduk miskinnya lebih dari 30 % dari
total keseluruhan penduduk.
Perhitungan
Persentase = x 100 %
Kategori Rawan
pangan apabila persentase rumah tangga miskin ≥ 30%.
Tabel 6
Analisis Perbandingan Antara Jumlah Rumah tangga
seluruhnya dengan Jumlah Rumah Tangga Miskin Penerima Beras Raskin di Kecamatan
Weru.
No.
|
Desa
|
RT
|
RTM
|
Persentase (%)
|
Kategori
|
1
|
Grogol
|
904
|
247
|
27,3
|
Aman
|
2
|
Karangtengah
|
1017
|
309
|
30,4
|
Rawan
|
3
|
Karangwuni
|
981
|
161
|
16,4
|
Aman
|
4
|
Krajan
|
1108
|
370
|
33,4
|
Rawan
|
5
|
Jatingarang
|
1282
|
354
|
27,6
|
Aman
|
6
|
Karanganyar
|
1305
|
397
|
30,4
|
Rawan
|
7
|
Alasombo
|
1129
|
170
|
15,1
|
Aman
|
8
|
Karangmojo
|
1098
|
475
|
43,3
|
Rawan
|
9
|
Weru
|
1065
|
320
|
30,0
|
Rawan
|
10
|
Karakan
|
1087
|
400
|
36,8
|
Rawan
|
11
|
Tegalsari
|
1257
|
519
|
41,3
|
Rawan
|
12
|
Tawang
|
1182
|
330
|
27,9
|
Aman
|
13
|
Ngreco
|
1767
|
589
|
33,3
|
Rawan
|
JUMLAH
|
15182
|
4641
|
30,2
|
RAWAN
|
Data di atas menunjukan bahwa di Kecamatan Weru masih
banyak terdapat desa yang dikategorikan sebagai desa rawan pangan berdasarkan jumlah Rumah Tangga
Miskin yang ada. Persentase tertinggi terdapat di Desa Karangmojo
yaitu 43,3 % , Desa Tegalsari sebesar 41,3 %, Desa Karakan 36,8 %, Desa Krajan
33,4 %, Desa Ngreco 33,3 % , Desa Karanganyar 30,4 % dan Terakhir Desa Weru
sebanyak 30,0 %. Dari rata rata jumlah persentase di atas dapat disimpulkan
bahwa Kecamatan Weru termasuk kategori daerah rawan pangan dengan persentase sebesar 30,2 %.
G. Karasteristik Wilayah Pengeloaan Daerah Rawan Pangan di
Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.
Tabel 7
Karasteristik
Wilayah Pengeloaan Daerah Rawan Pangan
di
Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.
Dimensi kelompok indikator
|
Indikator
|
o Desa
|
a.
Ketersediaan Pangan
|
1)
Konsumsi Normatif
2)
Luas sawah dan hasil panen dibawah 1000 ton/ tahun.
|
o Desa alasombo
o Desa Karangmojo
o Desa alasombo
o Desa Karangmojo
|
b.
Akses pangan dan mata pencaharian.
|
3)
% Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
|
o Desa Karangmojo
o Desa Tegalsari
o Desa Karakan
o Desa Weru
o Desa Krajan
o Desa Ngreco
|
c. Kesehatan dan Gizi
|
4) % angka kematian penduduk
|
o desa Grogol
o desa Krajan
o Desa Weru
o Desa Karakan
o Desa Tawang
o Desa Ngreco.
o Desa
Karangtengah
o Desa Karanganyr
o Desa
Karangmojo
o Desa
Tegalsari.
|
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Daerah
rawan pangan merupakan daerah
yang jumlah penduduk miskinnya lebih dari 30 % dari
total keseluruhan penduduk.
Dari hasil penelitian di atas menunjukan bahwa Kecamatan Weru termasuk dalam
kategori daerah rawan pangan dengan persentase sebesar 3,02 %.
Adapun daerah di kecamatan Weru yang terbilang daerah rawan pangan diantaranya
: Desa Karangmojo yaitu 43,3 % , Desa Tegalsari sebesar 41,3 %, Desa Karakan
36,8 %, Desa Krajan 33,4 %, Desa Ngreco 33,3 % , Desa Karanganyar 30,4 % dan
Terakhir Desa Weru sebanyak 30,0 %
B. Saran
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
ketersediaan pangan adalah Pengembangan Pangan Lokal, Pemanfaatan Pekarangan,
Pengembangan Masyarakat di Lahan Kering. Pemberdayaan Kelembagaan Lumbung
Pangan Masyarakat untuk antisipasi pada kondisi tertentu seperti gagal panen,
adanya musim paceklik dan sebagainya dalam rangka menjaga stabilitas pangan
terutama bagi rumah tangga miskin. Disamping itu, PKK dan Posyandu yang dapat
memantau serta mengupayakan ketercapaian kualitas pangan rumah tangga miskin.
DAFTAR
PUSTAKA
Katalog BPS. 2011 . KECAMATAN
WERU DALAM ANGKA TAHUN 2011.
Badan
Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo.
Departemen
Pertanian (1999).
Hasil penelitian Saliem et al.
(2004);
PP
No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
PokerStars Casino - Johannesburg - JSM Hub
BalasHapusCasino. Johannesburg, South Africa. JSM Hub. JSM's games, software, 수원 출장안마 betting options, online 남원 출장마사지 poker 경기도 출장마사지 rooms, online bookies, casino 포항 출장마사지 promotions, 사천 출장샵